Paradigma Tafsir Kontemporer


BAB I

PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Al-Qur’an merupakan sebuah kitab suci yang terjaga dan terpelihara orisinalitasnya sepanjang zaman oleh Allah SWT. Al-Qur’an merupakan kitab petunjuk yang didalamnya memuat ajaran moral universal bagi umat manusia sepanjang masa. Akan tetapi pada kenyataannya, teks al-Qur’an sering kali dipahami secara parsial dan ideologis sehingga menyebabkannya seolah menjadi teks yang mati dan tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan fenomena yang terjadi seperti inilah yang meresahkan para mufassir modern kontemporer untuk mengatassi pemahaman-pemahaman yang muncul di tengah-tengah umat atas al-Qur’an, agar nantinya diharapkan kitab suci umat islam ini benar-benar menjadi kitab petunjuk yang akan senantiasa mampu menjawab persoalan sosial keagamaaan di tengah-tengah umat.

Perkembangan Tafsir kontemporer tidak dapat begitu saja dilepaskan dengan perkembangannya dimasa modern. Paling tidak, gagasan-gagasan yang berkembang pada masa kontemporer ini sudah bermula ssejak zaman modern, yakni pada masa Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha yang sangat kritis melihat produk-produk penafsiran al-Qur’an. Paradigma tafsir kontemporer dapat diartikan sebagai sebuah model atau cara pandang, totalitas premis-premis dan metodologis yang dipergunakan dalam penafsiran al-Qur’an diera pada saat ini.

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.    Al-Qur’an Sebagai Kitab Petunjuk

Upaya untuk memberikan penempatan kepada al-Qur’an sebagai kitab petunjuk ini berawal dari kegelisahan seorang mufassir abad modern yakni Muhammad Abduh  terhadap produk-produk penafsiran al-Qur’an pada masa lalu. Menurut beliau, kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa-masa sebelumnya umumnya telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia. Beliau menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan atas berbagai pendapat para ulama yang saling berbeda yang pada akhirnya menjauhkan diri dari tujuan diturunkannya al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia ( hudan li an-nas ).[1]  

Sebagian besar dari kitab-kitab tafsir klasik dinilai oleh Abduh hanya sebatas pada pengertian kata-kata atau kedudukan kalimatnya dari segi i’rab dan penjelasan lain menyangkut segi-segi teknis kebahasaan yang dikandung oleh redaksi ayat-ayat al-Qur’an. Oleh karena itu, kebanyakan dari kitab-kitab tafsir tersebut cendrung menjadi semacam latihan praktis dibidang kebahasaan. Bukan kitab tafsir dalama arti kitab yang ingin menyingkap kandungan nilai dan ajaran al-Qur’an.[2] Kecuali beberapa kitab tafsir yang beliau sebut sebagai kitab yang baik dan bisa dipercaya, seperti kitab tafsir karya Az-Zamakhsyari, Ath-Thabariy, Al-Asfihani, dan Al-Qurthubiy.

Menurut Abduh, tafsir harus memiliki fungsi menjadikan al-Qur’an sebagai sumber petunjuk (mashdar al-hidayah) bukan semata-mata untuk membela ideology tertentu. Hal ini yang kemudian mendorong Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho untuk menyusun kitab tafsir yang memiliki corak berbeda dengan tafsir ciri klasik sebelumnya, yakni seperti tafsir Al-Manar yang memiliki corak penafsiran al-adabi ijtima’i.[3] Penulisan kitab tafsir ini bertujuan agar dapat memberikan solusi atas permasalahan yang konkrit yang dihadapi umat islam pada waktu itu.

Para mufassir era kontemporer sedikit banyak terpengaruh oleh gagasan yang dikembangkan oleh Abduh dalam hal keinginannya untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk. Inilah yang kemudian menjadi ciri utama dari penafsiran-penafsiran kontemporer, baik yang dikembangkan melalui metode tematik kontekstual maupun yang dikembangkan melalaui pendekatan historis, sosiologis, hermeneutis, dan bahkan juga yang menggunakan sistem pendekatan interdisipliner[4]

Dalam rangka untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai wahyu yang “mati” sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik tradisional. Para mufassir kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks al-Qur’an itu sebagai sesuatu yang “hidup”. Dengan demikian, mereka juga mengembangkan model pembacaan dan penafsiran yang lebih kriris dan produktif, bukan “pembacaan yang mati” dan ideologis, meminjam istilah Ali Harb. Pembacaan kritis dimaksudkan menurutnya adalah pembacaan atas teks al-Qur’an yang tak terbaca dan ingin menyingkap kembali dari apa yang tak terbaca tersebut.

Oleh karena itu disisi lain al-Qur’an harus dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak lepas dari konteks kesejarahan umat manusia. Ia tidak diwahyukan dalam ruang hampa kultural, akan tetapi justru al-Qur’an hadir dalam zaman dan ruang yang sesuai pada kondisi kultur tertentu.[5] 

B.     Bernuansa Hermeneutis

Sebelum masuk kepada pembahasan lebih lanjut terkait nuansa hermeneutik  ini, terlebih dahulu mengetahui sekilas pengertian hermeneutik. Hermeneutik berasal dari kata Yunani “hermeneuine” dan “hermenia” yang berarti keduanya bermakna ‘menafsirkan dan penafsiran’. Istilah tersebut dalam berbagai bentuknya dapat dibaca dalam sejumlah literatur peninggalan pada masa Yunani kuno, seperti Organon karya Aristoteles yang didalamnya terdapat risalah terkenal peri hermeneias (tentang penafsiran). Selanjutnya hermeneutik pada umumnya dapat juga di istilahkan sebagai disiplin yang berkenaan dengan “teori tentang penafsiran”. Istilah teori disini tidak dapat semata-mata diartikan sebagai sebuah istilah untuk menunjukkan  suatu eksposisi metodologi tentang aturan-aturan yang membimbing penafsiran berupa teks-teks.[6]

Hermeneutik menurut Zygmunt Bouman, berkaitan dengan “upaya menjelaskan dan menelusuri” pesan dan pengertian dasar dari ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, samar, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi para pendengar dan pembaca. Keraguan ini adakalanya muncul ketika dihadapkan pada dokumen yang saling berbeda penjelasannya mengenai hal yang samar sehingga pembaca harus melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang autentik serta pesan yang jelas.[7]

 Jika era klasik masih cendrung menekankan pada praktek eksegetik[8] yang cendrung atas ketelitian yang tinggi dalam menafsirkan al-Qur’an, serta menjadikan al-Qur’an sebagai subjek pokok, maka tidak sama halnya pada era modern dan kontemporer. Paradigma tafsir modern kontemporer cendrung bernuansa hermeneutik yang lebih menekankan pada aspek epistimologis-metodologis dalam mengkaji al-Qur’an untuk menghasilkan pembacaan yang prduktif ( al-Qira’ah al-muntijah ), ketimbang pembacaan yang repetitive (al-Qira’ah al-Mugridlah ). Sebagaimana yang dinyatakan oleh Roger Trigg bahwa paradigma hermeneutik adalah suatu penafsiran terhadap teks klasik, dimana suatu permasalahan harus selalu diarahkan agar teks tersebut dapat selalu kita pahami dalam konteks sekarang ini yang situasinya sangat berbeda.[9]

Nuansa hermeneutik yang menonjol dalam paradigma tafsir kontemporer, meniscayakan bahwa setiap teks perlu ditelaah kembali, dikarenakan memungkinkan adanya kepentingan atau ideologi apa dibalik penafsiran teks tersebut. Kriteria pembacaan hermeneutik ternyata menjadi trend diera kontemporer dibandingkan era sebelumnya, yakni pada era formatif yang berbasis pada nalar kritis dan pada era afirmatif dengan nalar idiologis.

Dengan kata lain model pendekatan hermeneutik akan menjadi “menu alternatif ” dalam kajian tafsir kontemporer sebagai jalan keluar atas pendekatan tafsir yang selama ini dianggap kurang tanggap dan kurang memadai untuk menjawab berbagai tantangan zaman. Konsekuensi dari terciptanya model hermeneutika ini, dalam menafsirkan al-Qur’an tidak hanya berbekal perangkat keilmuan saja seperti yang digunakan mufassir terdahulu, seperti yang kita kenal dengan ilmu nahwu, sharaf, ushul fiqih ,balaghah, akan tetapi juga diperlukan ilmu pendukung seperti filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, sains dan lainnya, dengan kata lain paradigma teori hermeneutik saling berkaitan antara disiplin keilmuan dalam penafsiran menjadi suatu hal yang pokok.

Dengan semakin bakunya nuansa hermeneutik, maka peran teks, penulis (author) dan pembaca (reader) menjadi simbang, sehingga kebebasan dan paksaaan dalam penafsiran relatif dapat dihindari.

C.    Kontektual dan Berorientasi pada Spirit al-Qur’an  

Salah satu karakteristik tafsir al-Qur’an di era kontemporer adalah sifatnya yang bercirikan kontekstual dan orientasinya pada semangat Qur’ani. Hal tersebut di lakukan dengan cara menumbuh kembangkan dan secara tegas mengganti metode serta hal-hal yang kaitannya dengan model penafsiran terdahulu. Dahulu metode penafsiran al-Qur’an yang diterapkan oleh mufassir klasik terdahulu adalah metode analitik yang bersifat penuh dengan ketelitian yang mendalam, maka tidak sama halnya dengan para mufassir kontemporer yang menggunakan metode tematik (maudhu’i). Selain itu mereka juga menerapkan dan memanfaatkan perangkat keilmuan berbasis modern dalam penafsirannya seperti, filsafat bahasa, semantik, semiotik, antropologi, dan sains.[10]

Salah satu pernyataan unik yang selalu menjadi landasan para mufassir kontemporer yang berbunyi “ al-Qur’an itu abadi”, akan tetapi penyajiannya selalu kontekstual, meskipun al-Qur’an diturunkan di Arab dan berbahasa Arab, tetapi berlaku untuk secara keseluruhan, dan dapat melampaui waktu dan tempat yang dialami manusia.

Pernyataan tersebut sebenarnya juga telah diakui oleh para mufassir era klasik, namun pemahaman para mufassir kontemporer berlainan dengan para mufassir klasik. Jika para mufassir klasik memahami pernyataaan ini sebagai “pemaksaan” maka literarur nya mengarah ke berbagai konteks kondisi dan situasinya manusia, maka para mufassir kontemporer berupaya melihat apa yang ada dibalik teks al-Qur’an. Oleh karena itu, para mufassir kontemporer tidak menerima begitu saja yang diungkapkan oleh ayat-ayat al-Qur’an secara literal, tetapi mencoba melihat lebih jauh mengenai apa sesungguhnya yang ingin dituju oleh ungkapan ayat-ayat tersebut. Dengan kata lain, yang ingin dicari oleh para mufassir kontemporer adalah “ruh” atau spirit dan maghza ( maksud dibalik ayat ), bukan sekedar makna keumuman teks, sehingga makna-makna kontekstual dapat selalu dihasilkan dari penafsiran al-Qur’an.

Kemudian berbagai upaya dikalangan sebagian mufassir kontemporer untuk mencari nilai ke-mujmal-an (universal) pada al-Qur’an yang akan menjadi kitab suci umat islam ini senantiasa menjadi pedoman untuk setiap zaman dan tempat (shalih li kulli zaman wa makan). Beberapa mufassir kontemporer menegaskan bahwa nilai universal yang dimaksud merupakan nilai kebebasan yang terukur (al-hurriyyah), keadilan (al-adalah), kemanusiaan, dan kesetaraaan (al-musawah). Dengan demikian  nilai-nilai inilah yang ingin ditekankan oleh al-Qur’an melalui berbagai ayatnya. Kemudian jika ayat-ayat al-Qur’an itu dipahami secara literal, parsial, dan sepotong-potong tentu saja nilai-nilai universal ini mustahil  bisa dijumpai.[11]

D.    Nonsektarian dan Kritis

Diantara karakteristik lainnya dari penafsiran era kontemporer ini adalah sifatnya yang ilmiah, kritis, dan non-sektarian.[12] Dikatakan ilmiah karena tafsir yang dihasilkan merupakan suatu karya kitab tafsir yang dapat diuji dan dibuktikan kebenaran dan ke-absahannya berdasarkan konsisten metodologi yang diterapkan para mufassir dan bersedia menerima kritik dari komunitas akademik.

Selanjutnya dikatakan sebagai kritis dan non-sektarian karena umumnya para mufassir kontemporer tidak terjebak pada golongan sekte atau mahzab yang mengikat. Bahkan mereka justru mencoba dan berupaya mungkin bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat yang tertera oleh para ulama klasik maupun kontemporer yang dianggap sudah tidak sejalan dengan era sekarang. Inilah yang menjadi salah satu dampak dari diterapkannya metode hermeneutik dalam menggali serta memahami teks al-Qur’an.[13]

E.     Sumber Penafsiran : Teks, Akal dan Realitas

Ditinjau dari sisi sumber penafsirannya, tradisi penafsiran era kontemporer bersumber kepada teks al-Qur’an, akal (ijtihad) dan realitas (konteks). Akan tetapi hanya saja secara paradigmatik[14], posisi teks, akal dan realitas sekaligus sebagai objek dan subjek. Maknanya, ketiga aspek tersebut senantiasa berkaitan satu sama lainnya.

Ada sebuah peranan yang berimbang antara teks, pengarang dan pembaca. Paradigma yang dipakai dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas cendrung kepada fungsional, tidak lagi menggunakan aspek structural yang cendrung saling mengatasbawahi satu sama lain.[15]

F.     Metode Pendekatan Multidisipliner

Beberapa metode pendekatan yang di gunakan oleh para mufassir kontemporer pada umumnya jauh berbeda dengan metode dan pendekatan yang digunakan oleh para mufassir era klasik. Jika para mufassir era klasik cendrung menerapkan metode analitis (tahlili) yang bersifat ketelitian yang secara mendalam, maka para mufasssir kontemporer menerapkan berbagai metode dan pendekatan yang salah satunya bersifat multidisipliner.

Yang dimaksud dengan metode pendekatan multidisipliner dalam penafsiran yakni, kombinasi antara ilmu pengetahuan yang masing-masing tetap berdiri sendiri dan dengan metode sendiri pula, atau bisa dikatakan sebagai metode pendekatan dalam memecahkan suatu masalah dengan menggunakan sudut pandang banyak disiplin keilmuan yang relevan.[16] Pendekatan ini juga berupaya membahas dan mengkaji suatu objek dari beberapa disiplin keilmuan, artinya ada upaya untuk menafsirkan al-Qur’an sebagai suatu objek dengan mengkaitkannya dengan disiplin ilmu yang berbeda.[17]

Meskipun demikian, dari sekian metode penafsiran al-Qur’an yang berkembang dimasa kontemporer saat sekarang ini, tampaknya metode tafsir tematik menjadi metode yang paling banyak diminati dan mendapat perhatian yang cukup besar oleh para mufassir kontemporer. Dengan kata lain metode ini berupaya memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan cara memfokuskan pada topik atau tema tertentu yang akan di kaji.[18]

BAB III

PENUTUP

A.    Kesimpulan

Salah satu karakteristik tafsir al-Qur’an di era kontemporer adalah sifatnya yang bercirikan kontekstual dan orientasinya pada semangat Qur’ani. Hal tersebut di lakukan dengan cara menumbuh kembangkan dan secara tegas mengganti metode serta hal-hal yang kaitannya dengan model penafsiran terdahulu.

Dahulu metode penafsiran al-Qur’an yang diterapkan oleh mufassir klasik terdahulu adalah metode analitik yang bersifat penuh dengan ketelitian yang mendalam, maka tidak sama halnya dengan para mufassir kontemporer yang menggunakan metode tematik (maudhu’i). Selain itu mereka juga menerapkan dan memanfaatkan perangkat keilmuan berbasis modern dalam penafsirannya seperti, filsafat bahasa, semantik, semiotik, antropologi, dan sains.

Dalam rangka untuk mengembalikan al-Qur’an sebagai kitab petunjuk, para mufassir kontemporer tidak lagi menjadikan al-Qur’an sebagai wahyu yang “mati” sebagaimana yang dipahami oleh para mufassir klasik tradisional. Para mufassir kontemporer menganggap wahyu yang berupa teks al-Qur’an itu sebagai sesuatu yang “hidup”.

DAFTAR PUSTAKA

Abduh Muhammad, Fatihah al-Kitab, 1382 H, Kairo : Kitab al-Tahrir

 

Al-Ja’far, Manahij al-Mufassirin, 1980,  Daarul Ma’rifah

 

Baidhowi Ahmad, & Mustaqim. Abd, Paradigma Tafsir Kontemporer  dan Implikasinya terhadap Akseptabilitas islam, dalam Jurnal Dialektika Peradaban Islam, No.1, Juli 2003

 

Khoirudin, Berpikir Rasional Ilmiah dan Pendekatan Interdisipliner dan Multidisipliner dalam Studi Hukum Keluarga Islam, dalam Jurnal al-Ahwal, Vol.10, No.1, Juni 2017

 

Mendy Aisha, dalam Artikel, Pengertian Paradigma Menurut Para Ahli, akses pada 2 Oktober 2019

 

Muhammad Rofiq Nasihuddin, dalam Artikel, Metode dan Pendekatan Tafsir, akses pada 2 Oktober 2019

 

Mustaqim. Abd, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, 2014, Yogyakarta : Adab Press

 

Mustaqim. Abd, Epistemologi Tafsir Kontemporer, 2010, Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang

 

Rahtikawati yayan, & Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an, 2013, Bandung : Pustaka Setia

 

Saenong, Hermeneutika pembesasan, 2002, Jakarta : TERAJU

 

https://KBBI .web.id, makna Eksegetik, akses pada 2 Oktober 2019

 

https://KBBI .web.id, makna non-sektarian, akses pada 2 Oktober 2019



[1] Abdul Mustaqim,  Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta : PT. LKIS Printing Cemerlang, 2010) hlm. 59

[2] Lihat juga Muhammad Abduh, Fatihah al-Kitab, (Kairo : Kitab al-Tahrir, 1382 H), hlm. 13

[3] Yang dimaksud corak al-Adab ijtima’I dalam penafsiran adalah corak penafsiran yang diterapkan dengan aspek sosio kultural di lingkungan sekitar. Lihat Masa’id Muslim al-Ja’far, Manahij al-Mufassirin, ( Daarul Ma’rifah, 1980) hlm. 272

[4] Abdul Mustaqim,  Epistemologi Tafsir Kontemporer… hlm. 60

[5] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an, ( Yogyakarta : Adab Press, 2014 ) hlm. 162

[6] Ilham B. Saenong, Hermeneutika pembesasan, (Jakarta : TERAJU, 2002 ) hlm. 23-24

[7] Yayan Rahtikawati & Dadan Rusmana, Metodologi Tafsir al-Qur’an, ( Bandung : Pustaka Setia, 2013 ) hlm. 447

[8] Eksegetik dimaknai dengan “penjelasan ,penafsiran. https://KBBI .web.id, akses pada 2 Oktober 2019

[9] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an… hlm. 163

[10]  Abdul Mustaqim,  Epistemologi Tafsir Kontemporer… hlm. 63

[11] Lihat Ahmad Baidhowi dan Abd Mustaqim, Paradigma Tafsir Kontemporer  dan Implikasinya terhadap Akseptabilitas islam, dalam Jurnal Dialektika Peradaban Islam, No.1 (Juli 2003), hlm. 8-9

[12] Maksud dari non-sektarian disini adalah, percaya, mendukung serta membela hanya pada satu pandangan sekte atau mahzab tertentu. https://KBBI .web.id, akses pada 2 Oktober 2019

[13]  Abdul Mustaqim,  Epistemologi Tafsir Kontemporer… hlm. 65

[14]  Diartikan sebagai konsep, praktik, nilai atau asumsi dalam melihat suatu realitas pada sebuah kejadian dalam suatu komunitas, Mendy Aisha, dalam Artikel, Pengertian Paradigma Menurut Para Ahli, akses pada 2 Oktober 2019

[15] Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an… hlm. 169

[16] Khoirudin Nasution, Berpikir Rasional Ilmiah dan Pendekatan Interdisipliner dan Multidisipliner dalam Studi Hukum Keluarga Islam , dalam Jurnal al-Ahwal, Vol.10, No.1 (juni 2017), hlm. 20

[17] Muhammad Rofiq Nasihuddin, dalam Artikel, Metode dan Pendekatan Tafsir, akses pada 2 Oktober 2019

[18] Abdul Mustaqim,  Epistemologi Tafsir Kontemporer… hlm. 68





Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGANTAR IDEOLOGI

History of snouck hurgronje

APA ITU KAPITALISME?