Fariduddin Attar, sang penyebar harum kesufian.

Fariduddin Attar, sang penyebar harum kesufian.


Sufi Persia - Biografi Para Sufi: November 2011

    Seorang pengemis tua berjalan menyusuri jalanan Naisabur untuk meminta-minta. Langkah kakinya kemudian mengarah ke apotek besar milik Fariduddin Muhammad bin Ibrahim. Melihat pengemis tua tersebut, Fariduddin bangkit dari tempat duduknya lalu mengusir pengemis itu sembari memakinya. Pengemis tua berkata dengan tenang, “ Jangankan meninggalkan tokomu, meninggalkan dunia dan kemegahan dunia ini bagiku tidak sukar! Tetapi bagaimana dengan kau? Dapatkah kau meninggalkan kekayaanmu, tokomu, dan dunia ini? ” ucap sang pengemis. Fariduddin segera menjawab, “ bagiku juga tidak sukar meninggalkan duniaku yang penuh kemewahan ini! ”. Namun si pengemis ternyata telah meninggal setelah Fariduddin menjawab pertanyaannya. Kejadian tersebut membuat batin Fariduddin bergejolak, sampai akhirnya dia memutuskan untuk mengembara dan menitipkan segala kekayaan beserta tokonya kepada sanak saudaranya.
        Fariduddin Abu Hamid Muhammad bin Ibrahim yang disebut Fariduddin Attar lahir di Nisyaphur tahun 1120 M. Ayahnya adalah seorang apoteker dan pemilik toko obat besar di Nisyaphur lalu sepeninggal ayahnya toko tersebut dikelola oleh Attar. Nama Attar sendiri berarti pembuat parfum atau aroma mawar. Setelah pengalaman rohaninya dengan si pengemis, Attar memutuskan untuk menjalani hidup zuhud ( asketik ) dan melakukan pengembaraan dalam rangka menuntut ilmu tasawuf ke berbagai tempat di Arabia, Persia, dan Asia Selatan. Guru tasawuf yang pertama ia temui adalah Syeikh Buknadin, kemudian dia berguru kepada para Mursyid lain seperti Abu Said bin Abil Khair. Sepanjang perjalanannya dia menulis apa yang dia dapatkan dari para guru beserta pengalaman batinnya. Karena latar belakang apoteker, Attar banyak membantu orang sakit yang ia temui, dan pengalaman tersebut menginspirasinya untuk mengarang kitab Musibat Nameh.
        Karya-karyanya selama masa pengembaraan, menggambarkan kiat-kiat melakukan perjalanan rohani ala sufi seperti Manthiq At Thair, berkisah sekawanan burung yang dipimpin burung Hudhud berpetualang melewati tujuh lembah untuk mencari Simurgh, raja para burung yang tinggal di balik gunung Qaf. Simurgh adalah burung mitologi persia yang konon menghuni lingkar pegunungan Kaukasus. Keadaan batin para salik diibaratkan burung yang senantiasa terbang dan adakalanya dia turun ke bawah, semakin tinggi dia terbang maka semakin banyak angin yang dapat menghempasnya. Tujuh lembah yang dilalui para burung antara lain lembah pencarian, lembah cinta, lembah Makrifat, lembah kebebasan dan kelepasan ( Istighna ), lembah keesaan, lembah keheranan, lalu terakhir adalah lembah kefakiran dan fana. Dari sekian banyak burung, hanya tiga puluh burung saja yang sampai ke tempat Simurgh, dan ternyata dalam penyerahan diri mereka serta bayang-bayang kebinasaan, mereka meleburkan diri dengan Simurgh. Kata Simurgh dalam bahasa Persia bisa berarti tiga puluh.
Fariduddin Attar yang juga digelari Sai'atus Salikin ( cambuk para Salik ) oleh para sufi, menulis sebuah kitab kumpulan kisah karamah para wali Allah yang diberi nama Tadzkiratul Auliya serta kitab tasawuf lain seperti Ilahi Namah, Asrar Namah, dan Musibat Namah. Kitab-kitab karyanya ditulis menggunakan bahasa Persia berbentuk syair sehingga mudah diingat. Sebagaimana dikatakan Seyyed Hossein Nasr, sajak-sajaknya tidak hanya didiskusikan secara serius oleh para sastrawan, tetapi juga dikutip oleh tukang roti dan tukang sepatu yang bahkan mungkin tidak mengenal sastra.
Setelah 39 tahun mengembara, Attar kemudian kembali ke Naisabur dan menjalankan usahanya sembari tetap mengamalkan tasawuf. Di masa tuanya, Attar dikunjungi Jalaluddin Rumi kecil dan ayahnya, Khoja Baha'uddin Walad yang saat itu mengungsi dari Khurasan. Melihat Rumi, Attar mengatakan bahwa suatu hari nanti Rumi akan menjadi tokoh besar yang akan menyalakan api gairah ilahiyah ke seantero dunia. karena pancaran mata serta kejeniusannya, Attar menghadiahi kitab Asrar Nameh kepada Rumi. Dan perkataan Attar terbukti, Jalaluddin Rumi menjadi seorang tokoh sufi besar yang dikenal dunia. Rumi sendiri sangat mengagumi Attar dan terpengaruh dengan pemikirannya, terlihat dari bait Matsnawi yang digubah Rumi seperti :
هفت شهر را عطــار گست # ما هنـــوز اندر خم یک کوچـــه ایــم
“ Attar telah melintasi tujuh kota cinta, sedangkan kita masih berada di tikungan sebuah jalan ”
Pasukan Mongol dibawah komando Genghis Khan datang menyerang kota Naisabur tahun 1220 M / 607 H. Fariduddin Attar yang saat itu berusia lanjut ditawan oleh seorang tentara Mongol. Seseorang kemudian datang membawa 1000 keping perak kepada tentara Mongol itu untuk menebus Attar. Namun Attar berkata kepada si Mongol bahwa harganya tidak sesuai, si Mongol pun menolak pembayaran tersebut. Keesokan harinya orang lain datang menghadap tentara Mongol itu dengan membawa sekarung jerami hendak ditukar dengan Attar, lalu Attar mengatakan bahwa harganya benar dan layak ditukar dengan dirinya. Si Mongol yang tidak mengetahui hakikat dari sikap Attar itupun marah karena merasa dipermainkan, lalu memenggal Attar. Andai saja tentara Mongol itu memahami buah dari Tasawuf, mungkin dia tidak akan memenggal Attar dan akan mendapat aliran hikmah dari Attar di sepanjang usianya.
    Sebuah maosoleum indah dibangun di atas makamnya oleh pemerintah Iran, dan di nisannya tertulis sebuah inskripsi yang berbunyi, “ di sini di taman Adn bawah, Attar menebarkan wangi pada jiwa orang-orang sederhana. Inilah makam seorang yang begitu mulia sehingga debu yang terusik kakinya akan merupakan kolirium di mata langit; makam Syaikh Farid Attar yang terkenal, yang menjadi ikutan orang-orang suci; makam penebar wangi yang utama dengan nafasnya yang mengharumi dunia dari Kaf ke Kaf. Di kedainya, sarang para malaikat, langit bagai botol obat semerbak dengan wangi sitrun. Bumi Nisyapur akan terkenal akan terkenal hingga hari kiamat karena orang yang termasyhur ini ”.

Wallahu A'lam Bisshawab

Referensi:

Attar, Fariduddin. 2018. Musyawarah burung. Terj. Hartojo Andangdjaya. Yogyakarta: CV. Penerbit Kakatua.

______ 2018. Tadzkiratul Auliya. Jakarta: Penerbit Zaman.

Nasr, Seyyed Hossein. 2017. Al Hikmah Al Muta'aliyah Mulla Sadra. Terj. Mustamin Al Mandari. Jakarta: Sadra Press.

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Fariduddin_Attar

https://alif.id/…/fariduddin-attar-dan-mantiqut-thair-cerm…/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGANTAR IDEOLOGI

APA ITU KAPITALISME?

History of snouck hurgronje