APA ITU FASISME?

     



 

 1. Pengertian Fasisme

 
    George Mosse menilai kemunculan fasisme sebagai reaksi terhadap liberalisme dan positivisme yang terlihat dari kecenderungannya yang ‘anti-intelektualisme’ (ant  intellectualism) dan dogmatisme. Fasisme merupakan manifestasi kekecewaan terhadap kebebasan individual (individual freedom) dan kebebasan berfikir (freedom of thought). Liberalsme dan positivisme, ini agak aneh, membuat individu ‘takut akan kebebasan’. dengan menjadi fasis—menganut fasisme—individu merasa ‘bebas’ setelahmelarikan diri dari kebebasan. ia ‘menikmati’ kebebasan justru dalam belenggu kebebasan. Kemuncuan fasisme juga merupakan ekses industrialisasi, modernisasi serta demokratisasi. Kemunculannya merupakan reaksi terhadap berbagai kesenjangan, penderitaan berkepanjangan, rasa ketakutan akan ketiadaan harapan masa depan yang lebih baik. Demokratisasi misalnya dianggap hanya ilusi dan melahirkan dominasi dan hegemoni struktural minoritas terhadap mayoritas, kebebasan anarkis dan lainlain. Dalam kasus Jerman di masa perang Dunia I dan II, kemunculan fasisme distimulasi oleh anarki sosial yang diakibatkan kekacauan domestik dan politik internasional

  Fasisme ditinjau dari akar-akar pemikirannya tergolong unik. Ia, seperti dikatakan Hayes merupakan percampuran berbagai teori yang paling radikal, reaksioner dan mencakup berbagai gagasan ras, agama, ekonomi, sosial, dan moralitas akar-akar filosofis. Akar akar fasisme bisa dilacak dalam pemikiran Plato, Aristoteles, Hegel, Rosenberg, Doriot, Farinasi, Gobinau, Sorel, Darwin, Nietzsche, Marinetti, Oswald, Spengler, Chamberlain dan lain-lain.66 Jadi fasisme, memiliki akar-akar intelektual dan filosofis ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Dalam bentuknya yang modern dan Kontemporerdan dalam formatnya yang par exellence terjadi ketika Borneo Mussolini menguasai Italia (1922), Hitler dengan Nazinya mendomiasi Jerman (1933) Franco berkuasa di Spanyol (1936),Tenno Heika memerintah Jepang (1930-an) dan Amerika Latin dimasa pemerintahan Juan Peron (1950-an).

Mussolini dan Hitler merupakan tokoh fasisme yang fenomenal. Fasisme merupakan sebuah paham politik yang mengangungkan kekuasaan absolut tanpa demokrasi. Dalam paham ini, nasionalisme yang sangat fanatik dan juga otoriter sangat kentara. Kata fasisme diambil dari bahasa Italia, fascio, sendirinya dari bahasa Latin, fascis, yang berarti seikat tangkai-tangkai kayu. Ikatan kayu ini lalu tengahnya ada kapaknya dan pada zaman Kekaisaran Romawi dibawa di depan pejabat tinggi. Fascis ini merupakan simbol daripada kekuasaan pejabat pemerintah. Pada abad ke-20, fasisme muncul di Italia dalam bentuk Benito Mussolini. Sementara itu di Jerman, juga muncul sebuah paham yang masih bisa dihubungkan dengan fasisme, yaitu Nazisme pimpinan Adolf Hitler. Nazisme berbeda dengan fasisme Italia karena yang ditekankan tidak hanya nasionalisme saja, tetapi bahkan rasialisme dan rasisme yang sangat sangat kuat. Saking kuatnya nasionalisme sampai mereka membantai bangsa-bangsa lain yang dianggap lebih rendah. 

2. Konteks Sosial-Psikologis Fasisme

Munculnya fasisme dan komunisme di suatu negara disebabkan karena latar belakang sosial yang berbeda. William Ebenstein mencatat bahwa komunisme pada umumnya lahir dalam masyarakat yang masih terbelakang (underdevelopment societies) dengan struktur sosial feodalistik-aristokratik da semi agraris. Komunisme dalam masyarakat demikian, memiliki daya pikat yang

kuat terhadap kelas-kelas sosial tertindas. Sehingga komunisme dianggap sebagai ideologi penyelamat dan pemberi harapan akan masa depan yang lebh baik. Dilain fihak fasisme umumnya, dengan pengecualian tertentu, muncul dalam masyarakat yang telah maju (developed countries) dan makmur serta telah mengalami proses industrialisasi dan modernisasi yang pesat serta relatif berhasil mengembangkan tehnologi tinggi (high technology).

            Penelitian empirik membuktikan semakin modern dan semakin pesat masyarakat mengalami industrialisasi, masyarakat itu semakin kurang merasa memiliki (sense of belonging) atas segala sesuatu disekitarnya. Rasa tak memiliki itu mengakibatkan masyarakat

industrial dan modern itu dihinggapi rasa frustasi, marah dan merasa tidak aman dalam menghadapi berbagai persoalan hidup dan memiliki watak vandalistik dan destruktif. Kondisi psikologis ini memberikan lahan subur bagi munculnya fasisme. Fasisme juga lahir dalam negara yang mengalami kegagalan demokratisasi. Dengan kata lain, fasisme akan mudah berkembang dalam negara post-democracy, negara yang ‘pernah’ mengalami demokrasi. Kegagalan proses demokratisasi, yang disebabkan faktor domestik dan internasional, memberikan lahan subur bagi pertumbuhan fasisme. Indikator kegagalan itu diantaranya sentralisasi kekuasaan pada segelintir elit penguasa, terbentuknya monopoli dan oligopoli

dibidang ekonomi, besarnya tingkat pengangguran baik dikalangan kelas bawah seperti buruh, petani atau kelas menengah atas seperti cendekiawan, kaum industrialis maupun pemilik modal (kapitalis).

Masyarakat luas kecewa terhadap demokrasi yang dianggap hanya ilusi keadilan politik dan tidak dapat dijadikan standar nilai bagi pembentukan sistem politik-ekonomi yang lebih baik. Kekecewaan itulah yang menyebabkan fasisme memperoleh basis legitimasi dan dukungan luas massa berbagai kalangan industrialis, buruh, petani, cendekiawan, dan perwira militer. Itu berbeda dengan latar belakang struktur sosial politik tempat bekambangnya komunisme. Faham Marxis-Leninis itu cenderung akan berkembang dalam masyarakat pra-demokrasi dengan mayoritas penduduk belum mengalami ‘pendewasaan politik’, struktur sosialnya yang hierarkis-tradisional.

Erich Fromm dalam Escape from Freedom  menguraikan teori menarik mengenai konteks psikologis fasisme. Ia berteori bahwa ada kaitan erat antara vaiabel-variabel ekonomi dengan

variabel psikologis. Karena itu from menolak tesis fasisme sematamata muncul sebagai akibat determinisme ekonomi, kecenderungan-kecenderungan ekspansif imperealisme-kapitalisme

atau penaklukan negara oleh partai tunggal yang didukung kaum industrialis dan The Jungkers. Fromm juga keberatan dengan tesis L. Mumford yang menilai fasisme semata-mata sebuah fenomena psikopatologi yang tidak terkait dengan determinisme ekonomi. Teori psikopatologis memiliki asumsi bahwa fasisme tidak lain merupakan sebuah manifestasi mereka yang mengidap penyakit neurotik

(neurotic), kegilaan (madness), dan berkepribadian tidak seimbang (mentally unbalanced).

Berpijak pada kasus Jerman, Fromm berteori bahwa variabel variabel psikologis fasisme tidak berdiri sendiri sebab ia terbentuk oleh variabel-variabel ekonomi. Nazisme misalnya, memang

merupakan masalah ekonomi (dan politik) tapi sepenuhnya bisa difahami bila melihatnya dari pendekatan psikopatologi. Hal terakhir inilah yang dibahas Fromm dalam karyanya diatas. Variabel

psikologis itu menurut Fromm adalah keadaan mental yang letih dan pasrah total. Keadaan psikologis ini dialami para pekerja Jerman sesudah Revolusi 1918. Dan pada pasca perang mereka memiliki

harapan-harapan besar akan terjadinya perbaikan ekonomi, sosialisme, politik. Tetapi semuanya hancur tahun 1930 akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Krisis itu mengakibatkan penderitaan diluar batas kesanggupan mental kelas pekerja untuk menanggungnya. Akhirnya mereka letih dan pasrah menghadapi persoalan hidup dan merasa kurang percaya (skeptis) terhadap akseptabilitas dan kapabilitas para pemimpin dan semua organisasi politik di Jerman.

 

3. Latar Belakang Individu dalam Perkembangan Fasisme

Menurut Eberstein71 perkembangan fasisme juga Dilatar belakangi oleh kecenderungan-kecenderungan tertentu dalam kepribadian individu-individu dalam masyarakat. Pertama, kecenderungan individu untuk menyesuaikan diri secara terpaksa dengan cita-cita dan praktik-praktik kuno. Kedua, kepribadian yang kaku secara emosional dan kurang memiliki imajinasi intelektual

yang luas dan terbuka. Individu bersangkutan berpandangan ‘inward looking’ dan menilai sesuatu secara hitam putih. Ketiga, individu memiliki watak mementingkan status dan kekuasaan atau pengaruh. Ia merasa dengan memiliki keduanya akan dapat mengatasi berbagai persoalan yang dihadapinya. Keempat, individu tersebut memiliki kecenderungan loyalitasyg kuat pada kelompoknya sendiri. Ia melihat kelompoknya sebagai yang kuat, memiliki kelebihan dan keistimewaan dibandigkan dengan kelompok-kelompok lainnya.

Kadang individu seperti itu merasa benar sendiri, yang lainnya salah. Kelima, ia memiliki disiplin dan kepatuhan yang kuat dan cenderung kurang Sunan Kalijaga akan kebebasan dan spontanitas dalam hubungan-hubungan kemanusiaan.

 

4. Doktrin dan Gagasan Utama Fasisme

Fasisme memiliki gagasan-gagasan dan doktrin-doktrin, sebagaimana diuraikan oleh Hayes, Ebenstein, dan Bracher; doktrin Pertama, adalah gagasan mengenai mitos ras unggul (the myth of race). Konsep keunggulan atau superioritas ras merupakan doktrin sentral fasisme. Menurut fasisme secara rasial manusia tidak sama. Ada ras superior dan ras inferior. Ras superior inilah yang telah ditentukan secara alamiah akan menjadi penguasa atas ras

inferior. Mereka berhak untuk memperbudak ras inferior. Atas dasar mitos ras itu Gobineau mengembangkan gagasan antiegalitarianisme. Masyarakat manusia menurutnya bersifat hierarkis. Ada yang secara alamiah ditakdirkan jadi penguasa dan dikuasai tergantung dari jenis ras apa mereka berasal. Maka menurutnya elit merupakan lapisan sosial yang paling esensial bagi usaha melestarikan masyarakat manusia yang beradab.

Kedua, doktrin anti-semitisme. Mitos ras itu melahirkan sikap sikap kebencian mendalam kepada ras lain, khususnya Yahudi. sebenarnya telah berkembang di Eropa sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu.

 Berdasarkan kajian Dimont, Arendt , Sartre  dan Stokes bisa dikatakan bahwa anti-semitisme telah terjadi ribuan tahun lalu di Mesir ketika Fir’aun berkuasa. Yahudi disiksa dan dijadikan budak, menjadi objek penyiksaan dan diusir ketika Nebukadnezar menguasai Babilonia. Dimasa Imperium Romawi, orang-orang Yahudi mengalami penderitaan berkepanjangan akibat loyalitas mereka diragukan penguasa imperium. Di abad pertengahan, Yahudi juga mengalami penderitaan lahir batin karena mitos dan cerita takhayul yang berkembang pada masa itu menganggap mereka sebagai ‘Penghianat Kristus’ saingan umat Kristen sebagai ‘orang-orang pilihan’ (the chosen people) kaki tangan setan, penyembah-penyembah setan dan hantu yang berwujud manusia.

Ketiga, doktrin totalitarianisme. Giovanni Gentile (1819-…), seorang ideolog fasis menilai fasisme sebagai suatu doktrin totaliter. Artinya, fasisme tidak sekedar suatu istem organisasi politik atau pemerintahan melainkan juga keseluruhan kehendak (will), pemikiran (thought), dan perasaan (feeling) suatu bangsa.80 Jadi watak dasar fasisme menurut Gentile adalah ‘totaliter’, komprehensif dan mencakup semua. Doktrin totalitarianisme dalam fasisme ini memiliki akar-akar intelektualnya dalam gagasan-gagsan Herakleitus, Palto, Aristoteles dan Hegel.

Menurut pemikir Yunani Kuno Herakleitus, totalitarianisme muncul dari kepercayaan bahwa dunia merupakan suatu totalitas. Sesuatu yang ada di dunia ini merupakan bagian integral dari tatanan keseluruhan dan kesatuan. Individu misalnya, hanya akan berarti bila mereka dalam totalitas kolektif individu. Gagasan Platoyang digunakan sebagai dasar perumusan doktrin totalitarianisme Kebencian itu termanifestasi dalam berbagai bentuk. Dari bentuknya yang paling ‘halus’ seperti sindiran dan caci maki hingga bentuknya yang paling vulgar dan kejam seperti penyiksaan dan pembantaian massal terhadap orang-orang Yahudi. Dalam terminologi Barat, sikap-sikap demikian dinamakan anti-semitisme. Inilah doktrin

fasisme kedua yang berkembang pesat di Jerman pada masa perang Dunia I dan II. Bila dilacak akar historis kulturalnya fasis adalah teori negara kesatuan, komunisme primitif, etos

kemiliteran Sparta, dan kesatuan antara kepentingan individu dengan kepentingan negara. Sumbangan Aristoteles adalah gagasannya tentang negara organik, sistem etika sosial terpadu, pembenaran fisik dan moral terhadap perbudakan manusia oleh manusia. Mengenai yang terakhir Aristoteles menulis bahwa kelas inferior haruslah dijadikan budak bagi kelas superior.

 

                        Hegel merupakan filosof yang gagasannya paling banyak dijadikan sebagai dasar doktrin totalitarianisme fasis. Menilai Hegel dalam meletakkan dasar intelektual totalitarianisme fasis, Karl

Popper menyebut Hegel sebagai; “the seminal factors in the rise of totalitarian philosophy and fascist practice” dan “link between totalitarian philosophy of the past and of the present.” Hegel, misalnya kata Karl Popper, telah menemukan kembali gagasan gagasan Plato tentang pemberontakan dan kebebasan dan akal. Menurut Hayes, Hegel telah memperkenalkan pada masyarakat politik dan intelektual Jerman suatu filsafat aneh dan unik yang sepenuhnya bernuansa totalitarianisme. Filsafatnya adalah suatu pencampuran berbagai gagasan mistisisme, universalisme, aristokratisme, anti-demokrasi dan utilitarianisme. Pencampuran gagasan-gagasan itu, meskipun aneh dan tidak koheren tetap memiliki daya pikat yang kuat bagi penganut fasisme di negara negara Eropa, khususnya Jerman.

Doktrin negara totaliter fasis yang berprinsip bahwa negara merupakan pusat dan tujuan akhir eksistensi manusia memiliki akar intelektualnya dalam gagasan kenegaraan Hegel. Filosof Jerman ini

mengatakan bahwa keberadaan suatu bangsa, dan tujuan subtansialnya haruslah negara. Maka, negara merupakan dasar dan pusat seluruh unsur-unsur kongkret dalam kehidupan manusia seperti seni, hukum, moral, agama, dan ilmu pengetahuan. Disisi lain Hegel juga mengemukakan gagasan negara organis yang diterapkan dalam praktik fasisme di Jerman. Negara organis adalah

negara yang tidak memiliki kewajiban moral terhadap individu-individu. Ia bebas melakukan apapun yang dikehendakinya tanpa harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara moral kepada siapapun.

            Keempat, doktrin tentang elite dan pemimpin. Fasisme percaya bahwa manusia secara alamiah telah ditentukan untuk menjadi penguasa (the ruler) dan yang dikuasai (the ruled). Jadi, ada sebagian manusia yang memiliki kualitas kemanusiaan superior dan yang lainnya tidak memiliki kualitas itu. Pandangan ini merupakan konsep dari ocial destiny dalam fasisme. Menurut doktrin ini massa (rakyat) tidak berhak dan tidak memiliki kemampuan

memerintah sebab hanya kelompok elite yang memiliki kualitas itu. Demokrasi, dengan demikian hanyalan ilusi politik yang tak akan pernah terwujud dalam kenyataan. Doktrin ini memiliki akar pemikirannya dalam tradisi intelektual Plato, Aristoteles, Machiavelli, Hobbes, Fichte, Herder, dan Hegel.

            Di Jerman, Herder mengkombinasikan gagasan elitisme ini dengan semangat nasionalisme dan penolakan terhadap rasionalisme. Hasilnya adalah sebuah kredo intelektual dan filsafat yang secara berhasil digunakan untuk membangkitkan kesadaran nasionalisme dan kesadaran elite Jerman. Kesadaran itu membuat bangsa Jerman yakin bahwa mereka adalah manusia pilihan yang berhak menguasai dan memerintah dunia. Hegel dilain pihak juga merumuskan premis-premis yang dijadikan alat pembenaran doktrin fasisme ini. Hegel berpendapat bahwa sejarah dunia tidak lain hanyalah sejarah orang-orang besar. Manusia unggul, atau meminjam konsep Hegel heroic leader (pemimpin heroik), yang sebenarnya ‘pencipta’ sejarah kemanusiaan dan peradaban, bukan massa. Doktrin ini berpegaruh da diterima oleh para nasionalis dan fasis Eropa, khususnya di Jerman dan Italia. Mussolini dan Hitler mengakui dipengaruhi oleh konsep ‘heroic leader’ Hegel ini. Pengaruh Hegel ini tampak dalam tulisan Hitler ketika ia menulis bahwa dalampendapat umum, semuanya salah dan semuanya orang besar. Dan, untuk menemukan apa yang benar merupakan tugas orang besar (The Great Man). Orang besar inilah yang mampu mengekspresikan kehendak zamannya, dan pelaksana kehendak itu.

 



 

Reference:

Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm.

17., dalam Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat; Kajian Sejarah Perkembagan

Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

2001) hal. 333.

 

Paul Hayes, Fascism (London: George Allen and Unwin Ltd., 1973) hlm. 18.

William Ebenstein, Today Isms; Communism, Fascism, Capitalism,

Socialism (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1970) hlm. 121.

Erich Fromm, Escape from Freedom (New York: Avon Books, 1965)

Max Dimont, Jews, God and History (The New York: The New York

American Library, 1962) juga The Indestructible Jews ((The New York: The New

York American Library, 1973).

 

 Hannah Arendt, Anti-Semitisme, Part one of the Origins of Totalitarianisme

(New York: Harcourt and Brace World. Inc., 1968).

 

 Jean Pail Sartre, Anti-Semite and The Jew, Trans. By George J. Backer

(New York: Schoker Books, 1972)

 

Roger Stokes, The Jew, Rome and Armageddon (Adelaide Hills

Christadelphian Ecclesia, 1987)

 

David Coopeman and Walter, Power and Civilizations, Political Thought in The Twetieth Century (New York: Thomas Y. Crowell Company, 1962) hlm. 261.

 

The Open Society and Its Enemiesm vol. II., The High Tide of Propechy Hegel and Marx, The Aftermath (London: Routledge and Keagan Paul, 1962).

83

 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

PENGANTAR IDEOLOGI

History of snouck hurgronje

APA ITU KAPITALISME?