ANARKISME DAN MARXISME
ANARKISME
DAN MARXISME
Saat komunisme anarkis dan marxisme adalah dua filsafat politik yang berbeda, terdapat beberapa kemiripan antara metodologi dan ideologi yang dikembangkan oleh beberapa anarkis dan Marxis, bahkan sejarah keduanya juga saling beririsan. Keduanya berbagi tujuan-tujuan jangka panjang yang serupa (komunisme tanpa negara), musuh politik yang sama (konservatif dan elemen-elemen sayap kanan), melawan target-target struktural yang sama (kapitalisme dan pemerintahan yang eksis saat ini). Banyak Marxis telah turut berpartisipasi dengan sepenuh hati dalam revolusi-revolusi anarkis, dan banyak anarkis yang juga berlaku demikian dalam revolusi-revolusi Marxis. Tetapi bagaimanapun juga, anarkisme dan Marxisme tetap menyimpan saling ketidaksetujuan yang kuat atas beberapa isu, termasuk di dalamnya peran alamiah negara, struktur kelas dalam masyarakat dan metoda materialisme historis. Dan selain bentuk kerjasama, terjadi juga konflik-konflik berdarah antara para anarkis dan Marxis, seperti yang terjadi dalam represi-represi yang dijalankan oleh para pendukung Uni Soviet melawan para anarkis.
1.
ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU NEGARA
Para ahli ilmu-ilmu politik modern pada umumnya mendefinisikan
"negara" sebagai sebuah institusi yang tersentralisir, hirarkis dan
berkuasa yang mengembangkan sebuah monopoli atas penggunaan kekuasaan fisik
yang terlegitimasi, tak beranjak dari definisi yang awalnya diajukan oleh
seorang sosiologis Jerman, Max Weber, dalam esai tahun 1918-nya,
Politik-Politik Sebagai sebuah Lapangan Pekerjaan. Definisi ini diterima oleh
nyaris semua mazhab-mazhab pemikiran politik modern selain Marxisme, termasuk
di dalamnya anarkisme. Marxisme memiliki definisi yang unik tentang negara:
negara adalah sebuah organ represi kelas yang satu atas kelas yang lain. Bagi
para Marxis, setiap negara secara intrinsik adalah sebuah kediktatoran kelas
yang satu atas kelas lainnya. Dengan demikian, dalam teori Marxis dipahami
bahwa lenyapnya kelas akan berbarengan dengan lenyapnya negara. Bagaimanapun
juga, tetap terdapat pertemuan di antara kedua kubu. Para anarkis percaya bahwa
setiap negara secara tak terelakkan akan didominasi oleh elit-elit politik dan
ekonomi, yang dengan demikian secara efektif menjadi sebuah organ dominasi
politik. Dari sudut yang berbeda, para Marxis percaya bahwa represi kelas yang
berhasil selalu mengikutsertakan kapasitas kekerasan yang superior, dan bahwa
seluruh masyarakat selain sosialisme dikuasai oleh sebuah kelas minoritas, maka
dalam teori Marxis semua negara non-sosialis akan memiliki karakter negara
seperti yang diyakini oleh para anarkis.
1.1. Proses
Transisi
Teori tentang negara menentukan secara langsung pertanyaan praksis tentang bagaimana transisi menuju masyarakat tanpa negara yang diidam-idamkan baik oleh para anarkis maupun Marxis tersebut mengambil bentuknya. Kaum Marxis percaya bahwa sebuah transisi yang berhasil menuju komunisme, yang jelas berarti masyarakat tanpa negara, akan membutuhkan sebuah represi atas para kapitalis yang apabila dibiarkan tentu akan membangun kembali kekuatannya, dan akan dibutuhkan juga eksistensi negara dalam sebuah bentuk yang dikontrol oleh para pekerjanya. Kaum anarkis menentang "negara pekerja" yang diadvokasikan oleh para Marxis sebagai sesuatu yang tidak logis semenjak sesegera sebuah kelompok mulai memerintah melalui aparatus negara, maka mereka akan berhenti menjadi pekerja (apabila sebelumnya mereka adalah pekerja) dan dengan demikian akan segera bertransformasi menjadi penindas baru. Kaum anarkis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada Uni Soviet yang berkarakter anti demokrasi serta berbagai negara "Marxis" lain, sementara para Marxis mendukung argumen mereka dengan merujuk pada kehancuran revolusi-revolusi yang dipimpin para anarkis semacam dalam Revolusi Meksiko 1910 dan Perang Sipil Spanyol. Dengan demikian, kaum anarkis berusaha untuk "menghancurkan" negara yang eksis saat ini, serta segera menggantikannya dengan konsil-konsil pekerja, sindikat-sindikat atau berbagai metoda organisasional yang desentralis dan non hirarkis. Kaum Marxis secara kontras, justru berusaha "merebut kekuasaan", yang berarti secara gradual mengambil alih negara borjuis yang eksis saat ini, atau menghancurkan negara yang eksis saat ini melalui sebuah revolusi dan menggantinya dengan sebuah negara baru yang tersentralisir (Leninisme, Trotskyisme, Maoisme) atau melalui sebuah sistem konsil pekerja (Komunisme Konsilis, Marxisme Otonomis). Posisi kaum Marxis melebur ke dalam anarkisme pada akhir spektrumnya, karena kaum anarkis juga saling tidak setuju di antara mereka sendiri tentang bagaimana sebuah sistem konsil pekerja yang demokratis dan memonopoli kekerasan akan dapat dianggap sebagai sebuah struktur negara atau tidak, sementara kaum Marxis bertengkar di antara mereka sendiri sebagian besarnya atas bentuk kediktatoran proletariat
1.2. Partai
Politik
Isu perebutan negara mengarah pada isu tentang
keberadaan partai politik, yang juga memisahkan jalan antara kaum anarkis dan Marxis.
Kebanyakan kaum Marxis melihat partai politik sebagai sesuatu yang berguna atau
bahkan dibutuhkan untuk merebut kekuasaan negara, semenjak mereka kebanyakan
melihat bahwa sebuah upaya yang terkoordinasi dan tersentralisirlah yang akan mampu
mengalahkan kelas kapitalis dan negara, serta memapankan sebuah badan
koordinasi yang mampu mempertahankan revolusi. Partai politik juga menjadi
sentral perjuangan semenjak mayoritas kaum Marxis percaya bahwa kesadaran kelas
harus disuntikkan ke dalam kelas pekerja, yang seringkali harus dilakukan oleh
mereka yang berada di luar kelas tersebut. Tapi bagaimanapun juga, kaum Marxis
saling berbeda pendapat tentang apakah sebuah partai revolusioner harus turut serta
dalam sebuah pemilu borjuis atau tidak, peran apa yang harus dijalankan pasca
revolusi, dan bagaimana ia harus diorganisir. Di sisi lain, para anarkis
umumnya menolak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan, menolak membentuk sebuah
partai politik, semenjak mereka melihat struktur organisasinya yang hirarkis
sebagai sebuah kedenderungan otoritarian dan menindas, walaupun toh kebanyakan kaum
anarkis juga tak mampu menjawab tentang bagaimana sebuah kesadaran revolusioner
dapat dibangkitkan tanpa keberadaan kekuatan kelompok-kelompok pelopor, yang
bagi kaum Marxis terwujud melalui partai politik. Bagaimanapun juga perdebatan
dan berbagai perbedaan saling berhadap-hadapan, banyak dari mereka, para anarkis,
mengorganisir secara politis berdasarkan pada sistem demokrasi langsung dan
federalisme dalam upayanya untuk berpartisipasi secara lebih efektif di tengah perjuangan
popular dan mendorong rakyat menuju revolusi sosial (dengan memberikan contoh).
1.3. Kekerasan
dan Revolusi
Pertanyaan praksis lainnya yang berhubungan dekat
dengan teori negara adalah kapan dan sebesar apa kekerasan dapat diterima dalam
upayanya untuk meraih kemenangan dalam sebuah revolusi. Para anarkis berargumen
bahwa seluruh bentuk negara adalah sesuatu yang tak dapat dilegitimasi lagi
karena semuanya bergantung pada kekerasan yang sistematis, dan sementara sebagian
dari para anarkis dapat membenarkan saat kekerasan berskala kecil atau
pembunuhan terarah atas elit-elit dilakukan berdasarkan atas kebutuhan dalam
beberapa kasus (misalnya kampanye "Propaganda by the Deeds"),
kekerasan massal melawan rakyat biasa ”sebagaimana yang dipraktekkan oleh Lenin
dan Trotsky dalam menumpas pemberontakan Kronstadt dan Makhnovis, oleh Stalin
dalam "Pembersihan Besar-Besaran" atau oleh Mao selama "Revolusi
Kultural", tak akan pernah dapat diterima dan dibenarkan. Kebanyakan kaum
Marxis berargumen bahwa kekerasan berskala besar dapat dibenarkan dan dengan
demikian "perang keadilan" adalah sesuatu yang mungkin, setidaknya
dalam lingkup terbatas dari pertahanan diri secara kolektif, misalnya dalam melawan
sebuah kudeta atau invasi imperialis. Beberapa lainnya (khususnya para
Stalinis) berargumen lebih jauh, bahwa tujuan dapat menghalalkan cara, sehingga
dalam teorinya, sejumlah apapun kekerasan dan pertumpahan darah akan dapat
dibenarkan dalam upayanya untuk menuju komunisme
2.
ARGUMEN-ARGUMEN SEPUTAR ISU KELAS
Analisa-analisa kelas baik dari kaum Marxis ataupun anarkis berdasarkan pada ide bahwa masyarakat terbagi ke dalam berbagai macam "kelas-kelas" yang berbeda, masing-masing memiliki kepentingan yang juga berbeda tergantung pada kondisi materialnya. Kelas-kelas tersebut juga berbeda, bagaimanapun juga, dalam soal di mana mereka menarik garis pemisah di antara mereka. Bagi kaum Marxis, dua kelas yang paling relevan adalah "borjuis" (pemilik alat produksi dan tidak bekerja) dan proletariat (mereka yang tak memiliki alat produksi dan harus bekerja oleh karenanya). Marx percaya bahwa kondisi-kondisi pekerja industri yang unik serta menyejarah akan mendorong mereka untuk mengorganisir diri mereka bersama-sama untuk kemudian mengambil alih peran negara dan alat-alat produksinya dari kelas borjuis, mengkolektivisasinya, serta menciptakan sebuah masyarakat tanpa kelas yang diselenggarakan oleh para proletariat sendiri. Mayoritas para Marxis, merujuk pada analisa-analisa Karl Marx sendiri, mengesampingkan para petani, pemilik alat produksi kecil "borjuis kecil" dan lumpen proletariat ”level terendah dari proletariat, yang biasanya menganggur, miskin, tidak memiliki kemampuan kerja, kriminal dan karakteristik mereka yang paling sering ditemui adalah ketiadaan kesadaran kelas ”sebagai kelompok-kelompok yang tak akan mampu menciptakan revolusi. Analisa kelas kaum anarkis telah mendahului Marxisme dan berkontradiksi dengannya. Kaum anarkis berargumen bahwa bukanlah kelas penguasa secara keseluruhan yang sesungguhnya mengatur jalannya negara, melainkan sekelompok minoritas yang menjadi bagian di dalam kelas penguasa (yang dengan demikian juga mempertahankan kepentingannya), memiliki fokus-fokus mereka sendiri, di antaranya yaitu mempertahankan kekuasaan. Sekelompok minoritas revolusioner yang mengambil alih kekuasaan negara dan memaksakan keinginannya pada rakyat berarti juga tidak berbeda dengan otoritarianisme sekelompok kecil penguasa dalam sistem kapitalisme, yang tentu juga akan segera bertransformasi menjadi sebuah kelas penguasa baru. Hal ini telah diprediksikan oleh Bakunin jauh sebelum revolusi Oktober di Russia terjadi. Selain itu, para anarkis juga melihat bahwa sebuah revolusi yang sukses tak akan pernah dapat lepas dari dukungan para petani, dan hal ini hanya dapat dilakukan dengan melakukan redistribusi lahan di antara para petani tak bertanah. Dengan demikian jelas bahwa kaum anarkis menolak kepemilikan tanah oleh negara, serta mereka menganggap bahwa kolektivisasi sukarela jauh lebih efisien dan layak didukung (berdasarkan pada kasus perang sipil Spanyol 1936 di mana para anarkis mempopulerkan kolektivisasi lahan, sementara mereka yang sebelumnya telah memiliki lahan sendiri diperbolehkan untuk tetap memilikinya tetapi dilarang menyewa tenaga kerja untuk mengolah lahan tersebut). Beberapa anarkis modern (khususnya para pendukung parekon ekonomi partisipatif) berargumen bahwa kini terdapat tiga kelas yang relevan bagi sebuah perubahan sosial, bukan hanya dua. Secara kasar, mereka adalah kelas pekerja (termasuk di dalamnya setiap orang yang menggunakan tenaga kerjanya dalam memproduksi atau mendistribusikan produk termasuk mereka dalam industri jasa), kelas koordinator (mereka yang pekerjaannya adalah mengkoordinasikan dan memanajemeni para pekerja) dan kaum elit atau kelas pemilik (yang mana pendapatannya diambil atas kemakmuran dan sumber daya). Para anarkis ini menyatakan dengan tegas bahwa Marxisme telah gagal dan akan selalu gagal, karena ia menciptakan sebuah kediktatoran melalui kelas-kelas koordinator dan karenanya juga "kediktatoran proletariat" secara logis menjadi tak mungkin. Perbedaan-perbedaan inti tersebut kemudian memunculkan fakta bahwa para anarkis tidak membedabedakan petani, lumpen dan proletariat, melainkan mereka mendefinisikan bahwa mereka yang harus bekerja untuk bertahan hidup adalah kelas pekerja (walaupun terdapat berbagai perbedaan politik dari berbagai sektor sosial yang berbeda dalam kelas pekerja). Selanjutnya, analisa kelas Marxian memiliki konsekuensi tentang bagaimana kaum Marxis memandang gerakan-gerakan pembebasan seperti gerakan perempuan, gerakan masyarakat adat, gerakan minoritas etnis dan gerakan homoseksual. Kaum Marxis mendukung beberapa gerakan pembebasan, tidak hanya karena gerakan tersebut memang harus didukung atas tuntutan dan programnya, melainkan karena gerakan-gerakan tersebut dibutuhkan bagi sebuah revolusi kelas pekerja yang tak akan dapat berhasil tanpa persatuan. Bagaimanapun juga, kaum Marxis percaya bahwa seluruh upaya rakyat yang tertindas dalam membebaskan dirinya sendiri akan gagal kecuali mereka mengorganisir diri dalam garis kelasnya, karena para borjuis yang terdapat dalam setiap gerakan tersebut dalam titik tertentu akan mengkhianati perjuangan dan di bawah kapitalisme, kekuasaan sosial terpusat pada siapa yang menguasai alat produksi. Para anarkis mengkritisi kaum Marxis karena terlalu memberi prioritas pada perjuangan kelas. Mereka menjelaskan bahwa perubahan arah sejarah, perjuangan antara mereka yang tertindas dan menindas, beroperasi dengan dinamikanya sendiri. Para anarkis melihat gerakan pembebasan rakyat tertindas secara fundamental dapat dilegitimasi, tak peduli apakah itu gerakan proletariat, gerakan petani, atau apapun, tanpa merasa perlu untuk mengkotakkan mereka dalam sebuah skema gerakan khusus bagi revolusi. Walaupun demikian, banyak juga anarkis yang percaya bahwa perjuangan isu tunggal hanya akan membatasi ruang pandang dan gerak, dan karenanya harus selalu melihat sebuah perjuangan dalam kerangka perjuangan yang lebih besar (sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Marxis).
3.
ARGUMEN SEPUTAR METODA MATERIALISME HISTORIS
Marxisme menggunakan sebuah bentuk analisa perkembangan
masyarakat manusia yang disebut "materialisme historis". Analisa ini
menempatkan ide bahwa manusia hidup dalam sebuah dunia material yang
terdeterminasi, dan aksi untuk mengubah dunia terdapat dalam batas-batas apa
yang memang dapat dicapai sesuai dengan alur kesejarahan. Secara lebih
spesifik, relasi produksi yang menjadi basis fundamental sistem ekonomi adalah
alat penentu gerak sejarah. Yang menggaris bawahi proses tersebut adalah adanya
ide tentang kontradiksi dan pertentangan antar kelas yang secara alamiah
membentuk serta menggerakkan kemajuan sosial. Marx mengambil formulasi
materialisme historis ini dari sistem filsafat dialektika Hegel. Metoda ini
bekerja melalui asumsi bahwa setiap fenomena alam hanya dapat didefinisikan dengan
cara mengkontraskannya dengan fenomena lain. Marx dan Engels berargumen bahwa
metoda tersebut dapat diaplikasikan pada masyarakat manusia dalam bentuk
materialisme historis, sehingga kelas-kelas masyarakat yang ada dapat
dipelajari dengan menggunakan kontradiksinya, misalnya, karakteristik majikan
hanya dapat dipahami apabila dikontraskan dengan karakteristik pekerja. Sementara
mayoritas para anarkis, menggunakan berbagai macam alat analisa sosial, walaupun
sebagian anarkis lain melihat materialisme historis ini sangat efektif untuk
digunakan sebagai pisau analisa mereka dan melihatnya sebagai sebuah titik pemersatu
dalam sebuah perjuangan kelas. Mayoritas anarkis, bahkan juga menganggap bahwa
materialisme historis adalah sebuah ilmu palsu yang tak dapat dibuktikan secara
universal. Mereka juga menganggap bahwa metoda ini hanya akan mendehumanisasikan
analisa-analisa sosial politik dan jelas karenanya menjadi tidak layak
digunakan sebagai sebuah metodologi universal
3.1.
Determinisme
Sebuah interpretasi yang simpel dari materialisme
historis menyatakan bahwa apabila memang Marxisme benar tentang kelas kelas yang
saling berkontradiksi di bawah beroperasinya sistem kapitalisme, maka sebuah
revolusi kelas pekerja tak akan terelakkan lagi. Beberapa Marxis, khususnya
mereka para pemimpin Internasional Kedua, meyakini hal ini. Bagaimanapun juga,
tingkat di mana revolusi harus dilakukan oleh mereka yang telah sadar akan posisi
kelasnya, menjadi sebuah perdebatan tersendiri di kalangan kaum Marxis, yang
mana sebagian berpendapat bahwa pernyataan Karl Marx yang terkenal, "Aku
bukan seorang Marxis", adalah sebuah penolakan konsep determinisme.
Perdebatan ini diperdalam dengan terjadinya Perang Dunia I, saat partai-partai
sosial demokrat dari Internasional Kedua mendukung upaya-upaya negara untuk
terlibat di dalam perang. Sementara di sisi lain, para Marxis yang menjadi oposisi
perang, seperti Rosa Luxemburg, menyalahkan Internasional Kedua sebagai sebuah
"pengkhianatan" atas doktrin sosialisme yang pada gilirannya dianggap
hanya berupaya untuk mereformasi negara kapitalis.Sementara sebagaimana
mayoritas anarkis menolak metoda dialektika historis materialis, para anarkis
tersebut juga tidak memiliki klaim tentang bagaimana sebuah revolusi akan
terjadi. Mereka melihat bahwa revolusi dapat terjadi hanya apabila memang masyarakat
menghendakinya.
4.
ANARKO-KOMUNISME
Anarko-Komunisme adalah suatu bentuk dari anarkisme
yang mengajarkan penghapusan negara (atau institusi kenegaraan) dan faham
kapitalisme, untuk sebuah jaringan asosiasi sukarela di mana semua orang bebas
untuk memenuhi kebutuhannya.Anarko- Komunisme juga dikenal dengan sebutan
anarkis komunisme, komunis anarkisme, anarkisme-komunis ataupun komunisme libertarian.
Namun, walaupun semua anarkis komunis adalah komunis libertarian, tetapi tidak
semua komunis libertarian adalah anarkis (menganut faham anarkisme), misalnya
dewan komunis. Hal yang membedakan anarko-komunisme dari varian lain dari libertarian
komunisme adalah bentuk oposisinya terhadap segala bentuk kekuasaan politik,
hirarki dan dominasi. Komunisme bisa tumbuh subur dinegara-negara miskin maupun
negara berkembang, namun dengan runtuhnya negara-negara komunis yang kuat menyebabkan
faham-faham komunis inipun tidak akan bisa berkembang menjadi besar.
4.1.
Internasionale Pertama
Kelompok anarkisme-komunis pertama kali diformulasikan
oleh Carlo Cafiero, Errico Malatesta dan Andrea Costa dari kelompok federasi
Italia pada Internasionale I. Pada awalnya kelompok ini (kemudian diikuti oleh
anarkis yang lain setelah kematian Bakunin seperti Alexander Berkman, Emma
Goldman, dan Peter Kropotkin) bergabung dengan Bakunin menentang kelompok Marxis
dalam Internasionale I. Berbeda dengan anarkisme-kolektif yang masih
mempertahankan upah buruh berdasarkan kontribusi mereka terhadap produksi, anarkisme-komunis
memandang bahwa setiap individu seharusnya bebas memperoleh bagian dari suatu
hak milik dalam proses produksi berdasarkan kebutuhan mereka.
4.2.
Prinsip Dasar
Kelompok anarkisme-komunis menekankan pada egalitarianisme (persamaan), penghapusan hirarki sosial (social hierarchy), penghapusan perbedaan kelas, distribusi kesejahteraan yang merata, penghilangan kapitalisme, serta produksi kolektif berdasarkan kesukarelaan. Negara dan hak milik pribadi adalah hal hal yang tidak seharusnya eksis dalam anarkisme-komunis. Setiap orang dan kelompok berhak dan bebas untuk berkontribusi pada produksi dan juga untuk memenuhi kebutuhannya berdasarkan pilihannya sendiri.Salah satu hal yang membedakan antara anarkisme-kolektif dengan anarkisme-komunis adalah pandangan mengenai gaji dan upah pekerja. Anarkisme-komunis berpendapat bahwa tidak ada satu carapun yang dapat mengukur kontribusi seseorang terhadap proses produksi dan ekonomi karena kesejahteraan adalah hasil dari produksi bersama. Sistem ekonomi yang berdasarkan gaji/upah pekerja dan hak milik adalah bentuk penyiksaan negara dan aparaturnya dengan tujuan untuk mempertahankan hak milik pribadi dan juga ketidakseimbangan hubungan ekonomi diantara para pelaku produksi. Selain itu, anarkisme-komunis menolak sistem gaji/upah pekerja dengan dasar filosofi bahwa pada hakikatnya manusia itu "malas" dan "egois". Anarkisme-komunis juga mendukung komunisme (dalam sistem pemikiran Marxisme) dengan penekanan pada penjaminan kebebasan dan juga kesejahteraan bagi setiap orang, dan tidak mendukung komunisme dalam hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Hal inilah yang membuat anarkisme-komunis sering disamakan dengan filsafat egalitarian.
CATATAN:
Dengan
catatan penting, bahwa dua kubu yang dibahas
dalam
tulisan ini adalah kecenderungan-kecenderungan dalam
anarkisme
dan Marxisme klasik. Lihat pula Anarkisme, Marxisme,
Komunisme,
Marxis Otonomis, Komunis Libertarian.
Komentar
Posting Komentar